Pertamax Belum Capai Harga Keekonomian, Ini Alasannya
METROSEMARANG.COM, SEMARANG – PT Pertamina (Persero) secara resmi telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax menjadi Rp14.500 per liter, guna mengimbangi melambungnya harga minyak dunia yang mencapai lebih dari 100 dolar per barel. Meski telah menaikkan harga, namun Pertamina masih menanggung kerugian karena harga jual yang di bawah harga keekonomian.
Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, secara fakta, Pertamax yang dijual oleh Pertamina lebih murah dibandingkan dengan pesaingnya, seperti Shell, Vivo dan Total. Jika dibandingkan dengan kompetitor, misalnya Shell, yang menjual produk RON 92 atau Shell Super seharga Rp15.420 – Rp15.750 per liternya.
“Kalau lihat dengan harga pesaing masih jauh di bawah ya. Kalau harga belinya sama dengan harga BBM pesaing, maka secara sederhana bisa dikatakan rugi. Tapi ruginya berapa, harus dilihat detail datanya,” katanya.
Menurut Komaidi, Pertamina tidak seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya, karena dalam tingkatan tertentu harus mengikuti kebijakan pemerintah yang merupakan pemegang saham. Dengan begitu, meski terdapat aturan yang membebaskan Pertamina menentukan harga Pertamax sesuai dengan harga pasar, namun kebijakan penentuan harga harus seijin pemerintah.
“Secara regulasi, Pertamax memang diberikan kepada badan usaha. Tapi Pertamina harus diskusi dulu dengan pemerintah sebagai pemegang saham. Sedangkan pemerintah punya pertimbangan banyak, mulai dari pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, daya beli dan lain – lain,” ungkap Komaidi.
Untuk itu, lanjutnya, ia mendorong pemerintah mencari jalan keluar agar Pertamina tidak terus merugi karena menjual produk BBM di bawah keekonomian. Komaidi khawatir jika hal ini terus terjadi, maka akan mengancam stok BBM di dalam negeri, mengingat lebih dari 80-90 persen pasokan BBM di dalam negeri, melalui Pertamina.
“Kalau namanya daya tahan keuangan kan ada ukurannya. Mungkin sekarang mereka masih bisa cover dari subsidi pemerintah atau pinjaman dari bank. Tapi itu juga ada batas limitnya dan tidak bisa dilakukan seterusnya,” ujar Komaidi.
Di sisi lain, Komaidi menegaskan, pemerintah juga harus tegas terhadap kebijakan subsidi BBM, mengingat pemerintah yang memiliki kewenangan dan sudah menyadari banyaknya penyaluran subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Salah satunya, dengan menetapkan Pertalite yang hanya bisa dikonsumsi untuk plat kuning maupun kendaraan roda dua, dan yang lainnya mesti menggunakan Pertamax.
“Seandainya tetap memperbolehkan kendaraan roda empat menggunakan Pertalite ya harus dengan harga moderat, misal Rp12.000 per liter,” tegas Komaidi.
Komaidi menambahkan, subsidi pada hakikatnya adalah untuk rakyat yang tidak mampu, sehingga masyarakat yang mampu seharusnya menggunakan produk yang tidak disubsidi.
“Suatu kebijakan memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Tapi, kalau memang baik untuk jangka panjang, maka lebih baik dilakukan. Silahkan saja dilakukan dan ambil resikonya,” pungkas Komaidi.(eff)