Metro Semarang
Kabar Semarang Terbaru Hari Ini

21 Perguruan Tinggi Ikuti Bimbingan Teknis Dosen Inklusi Kesadaran Pajak

– INKLUSI KESADARAN PAJAK- Kanwil DJP Jawa Tengah I menggelar acara Bimbingan Teknis Dosen Inklusi Kesadaran Pajak di Ball Room Hotel Metro Park View Semarang Rabu (12/10/2022), dengan peserta dari 21 Perguruan Tinggi di lingkungan Kanwil DJP Jawa Tengah I. Foto : ist/metrosemarang.com

METROSEMARANG.COM, SEMARANG – Kanwil DJP Jawa Tengah I menggelar acara Bimbingan Teknis Dosen Inklusi Kesadaran Pajak di Ball Room Hotel Metro Park View Semarang Rabu (12/10/2022), dengan peserta dari 21 Perguruan Tinggi di lingkungan Kanwil DJP Jawa Tengah I.
Bimbingan Teknis (Bimtek) merupakan salah satu tahapan penting dalam Program Inklusi Kesadaran Pajak.

Program Inklusi Kesadaran Pajak adalah program yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak bersama dengan Kementerian yang membidangi pendidikan, untuk meningkatkan kesadaran perpajakan peserta didik, guru, dan dosen. Kegiatan dilakukan melalui integrasi materi kesadaran pajak dalam kurikulum pembelajaran dan perbukuan.

Program ini merupakan program jangka panjang Direktorat Jenderal Pajak untuk mewujudkan generasi emas sadar pajak.

“Sebagaimana kita ketahui bahwa inklusi kesadaran pajak ini terdiri dari 5 (lima) tahap yaitu dimulai dari dilakukannya perjanjian kerja sama, tahap kedua adalah Bimbingan Teknis, tahap ketiga implementasi yaitu memasukan materi kesadaran pajak ke dalam pembelajaran, tahap keempat sit in, dan tahap kelima adalah monitoring dan evaluasi,” kata Mahartono, Kabid P2Humas Kanwil DJP Jateng 1, dalam sambutannya membuka acara Bimtek.

Selain itu, Petrus Martono, Kepala KPP Pratama Candisari yang mewakili Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah I menyampaikan, kesadaran pajak di masyarakat Indonesia memang belum tinggi. Tingkat kepatuhan pelaporan SPT Tahunan secara nasional masih cukup rendah masih di kisaran 50-60%.

Data ini baru pada tingkat kepatuhan pelaporan, belum termasuk material apakah wajib sudah melakukan penyetoran dan pelaporan pajak dengan benar.

“Kami perlu bersinergi untuk membangun budaya sadar pajak dengan lingkungan kampus, lingkungan yang membangun manusia-manusia yang punya idealisme tinggi, sejak awal sudah dikenalkan tentang kesadaran pajak,” ujar Petrus.

Petrus menyampaikan, pajak ini unik, hampir 80% APBN berasal dari penerimaan pajak. Namun bagi masyarakat yang membayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung, meskipun sebetulnya kita sudah banyak menikmati fasilitas dari pajak ini.

“Seperti contohnya kita menggunakan jalan, jembatan, ikut menikmati subsidi, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai kesadaran pajak, khususnya pada generasi muda,” ujarnya.

Turut hadir juga Ulfa Meilida, Dosen Bahasa Indonesia Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus memberikan pengalaman implementasi inklusi kesadaran pajak di kampusnya.

“Mungkin dari sini bapak dan ibu bertanya-tanya, kok bisa Bahasa Indonesia masuk ke inklusi pajak, padahal materinya sendiri kan jauh dari ranah materi pajak, namun itu bisa saya laksanakan,” ujar Ulfa.

Menurut Ulfa, inklusi jangan dijadikan sebagai beban. Ulfa pun mengakui awalnya tak mengetahuinl soal perpajakan.

“Untuk inklusi kesadaran pajak pada RPS dan materi, saya juga bertanya-tanya, bagaimana saya bisa mengajarkan pajak sementara saya sendiri tidak paham apa itu PPh. Dasar-dasar hukum pajak saja saya masih awam. Tetapi saya mendapatkan tugas untuk melakukan inklusi sadar pajak pada mata kuliah saya, kemudian tim MKWU tidak hanya mata kuliah Bahasa Indonesia saja, ada Kewarganegaraan, Pancasila dan lainnya, dikumpulkan untuk diberi arahan. Setelah itu baru kami ada gambaran, berarti kami tidak mengajarkan materi pajak, tetapi kami secara tidak langsung membawakan materi/bacaan tentang pajak kepada mahasiswa disela-sela materi yang kita bawakan, menyisipkan tentang pajak pada materi yang kita ajarkan, bukan secara penuh dalam 2 SKS kita menerangkan materi pajak, namun hanya seputar penjelasan kalau di Bahasa Indonesia mungkin seputar ejaan, penulisan kalimat itupun hanya satu atau 2 kali pertemuan saja,” lanjut Ulfah.

Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.
Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka akan membawa dampak buruk, terutama masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Melihat dari fakta yang akan dihadapi Indonesia tersebut, bonus demografi memang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak memanfaatkan momentum ini untuk membentuk kesadaran pajak sejak dini melalui Progam Inklusi Sadar Pajak.(eff)

You might also like
Leave A Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.